Ruang Sederhana Berbagi

Selasa, Desember 01, 2015

Fenomena AIDS di Kota Pertambangan

Sisi lain sebuah kota pertambangan adalah denyut kota yang bergairah dari awalnya hanya sebuah wilayah kecil menjadi kota metropolitan yang bergelimang  menawarkan berbagai jenis layanan untuk warganya. Kisah-kisah kemajuan selalu beriringan dengan dampak yang ditimbulkannya. Misalnya hilangnya keanekaragaman hayati di lokasi setempat, tercemarnya air dan tanah serta udara, dan yang tidak kalah menariknya adalah fenomena AIDS di Kota Pertambangan.

Ah, saya katakana saja demikian. Fenomena AIDS di Kota Pertambangan menjadi menarik untuk dilihat sisi-sisi lainnya. Metropolitan terkadang menjadi jahat untuk mereka yang tidak bisa mengendalikan dirinya. Menjamurnya tempat-tempat hiburan bisa menjadi sebuah alternative untuk melepaskan kepenatan selama beraktivitas. Penat karena pekerjaan yang monoton selama berhari-hari kemudian lepas dan bebas dengan sehari  di tempat hiburan. Pekerjaan ini membutuhkan fokus dan konsentrasi tinggi setiap harinya. Kehilangan fokus dan konsentrasi berakibat fatal pada orang atau alat yang sedang bekerja.
Suatu malam di pinggir jalan, Timika, Papua (iden wildensyah)

Fenomena AIDS di Kota Pertambangan bukan hanya isapan jempol belaka. Dalam Laporan Kementerian Kesehatan di bulan Juni 2011 menunjukkan penularan HIV berubah dalam lima tahun terakhir dan ada kecenderungan penularan baru HIV dan AIDS melalui transmisi seksual dengan kelompok terbesar pada pekerja laki-laki, yang kebanyakan bekerja di sektor-sektor pertambangan, perkebunan, perhubungan dan konstruksi yang berlokasi di daerah-daerah terpencil di Indonesia.
Pekerja di sektor-sektor tersebut umumnya memiliki mobilitas tinggi dan dengan upah yang cukup besar sebagai kompensasi lingkungan yang penuh resiko, namun banyak yang memiliki perilaku seksual berisiko tinggi, seperti membeli pelayanan seks tanpa alat pelindung. Perilaku seks tanpa alat pelindung ini menjadi bagian yang penting dikampanyekan oleh berbagai lembaga yang fokus menangani fenomena AIDS di kota-kota pertambangan. Aturan mengenai penanggulangan HIV dan AIDS di tempat kerja sudah dituangkan dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No 68 tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS.

Godaan Uang, Minuman Keras, dan Seks Bebas

Dalam catatan Kompas, di Timika Ibukota Kabupaten Mimika, Papua. HIV/AIDS menjadi wujud nyata kehancuran orang asli Papua. Mereka diguncang oleh modernitas yang bergelimang uang, gemerlapan, dan konsumtif. Sejak tahun 2006, kota yang dibanjiri uang bisnis pendulangan emas tailing PT Freeport Indonesia (PTFI), dan perputaran dana kemitraan PTFI –lazim disebut dana satu persen- itu telah menjadi kota dengan jumlah kasus HIV/AIDS tertinggi di Papua. Barangkali sebuah kebetulan bahwa kasus pertama HIV/AIDS di Timika ditemukan tahun 1996, tahun dimana pertama kali pengucuran dana satu persen.

Akan tetapi, jika melihat buku laporan jurnalistik kompas ketika melakukan eksepedisi ke tanah Papua, bukan sebuah kebetulan jika dari 1.382 kasus HIV/AIDS yang ditemukan hingga 30 Juni 2007, 884 kasus dialami warga dari ketujuh suku penerima dana satu persen.

Gaya hidup baru yang bergelimang uang, minuman keras, dan seks bebas terus merebak di Timika, tanpa memandang umur. Di Timika, pelajar SMP sekalipun bisa masuk dalam kelompok berisiko HIV/AIDS, karena maraknya seks bebas dan konsumsi seks. Yang lebih mengenaskan banyak orang di luar kelompok risiko yang juga telah menjadi korban. Sejak 1996 sampai saat ini sudah ditemukan sekira 29 bayi dan anak-anak yang terinfeksi HIV. Seluruh bayi dan anak itu terinfeksi saat berada di dalam kandungan.

Demikian hal dengan ibu rumah tangga, sejumlah 305 terinfeksi HIV/AIDS. Satu kasus penularan HIV/AIDS melalui tranfusi darah menunjukan ancaman besar bagi setiap orang di Timika karena HIV/AIDS telah ada di mana-mana. Data dari Dinas Kesehatan dan Keluarga Berencana Kabupaten Mimika menunjukan proporsi HIV positif dalam kantung tranfusi darah pada Mei 2007 mencapai 1,44 persen.

Penanggulangan

Fenomena AIDS di kota pertambangan demikian menakutkan tetapi pencegahan yang dilakukan untuk mengurangi angka yang terinfeksi HIV/AIDS harus terus dilakukan. Dalam beberapa kesempatan, kampanye-kampanye kesehatan dilakukan oleh dinas terkait dan PT Freeport Indonesia. Semua kembali kembali kepada manusianya. Demikian besarnya godaan atas keberlimpahan sumber daya bisa menjadi boomerang jika tidak bisa mengendalikan diri dengan baik.

Sebaik usaha yang dilakukan melalui kampanye-kampanye penanggulangan HIV/AIDS jika tidak ada perubahan dalam diri manusianya pasti hasilnya nihil. Dengan itikad baik untuk mengajak kebaikan, saya yakin kelompok-kelompok spiritual seperti komunitas keagamaan, komunitas sekolah, dan komunitas kemasyarakatan lainnya bisa diandalkan untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di masa-masa yang akan datang.  

Harapan tentu masih ada, dengan bersatu padu antar semua elemen masyarakat dan Negara untuk mencegah kenaikan angka yang terinfeksi bisa dilakukan bersama-sama. Semoga jalinan antara berbagai komunitas lintas sector bisa menjadi harapan untuk generasi yang akan datang. Mengabaikan anak-anak yang terinfeksi adalah kesalahan besar, bagaimanapun mereka adalah penerus bangsa ini. Dengan meraih semua pihak dan melibatkan dalam berbagai kampanye kesadaran tentang risiko HIV/AIDS ini mudah-mudahan fenomena AIDS di kota pertambangan hanya menjadi cerita masa lalu saja. Generasi selanjutnya bisa tersenyum lebih baik dari sekarang.



Share:

0 komentar:

Postingan Populer