Ruang Sederhana Berbagi

Tampilkan postingan dengan label Pendidikan Alternatif. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan Alternatif. Tampilkan semua postingan

Senin, November 11, 2019

The Answer Of Why Alternative Education?

"Education is not just a matter of multiplying the contents of brain memory or finding out something that was not known before. But more than that is an effort to connect all that is already known with things that are still a mystery" (Anatole France, 1817-1895 Nobel laureate, France )

These days my blog post is talking about alternative education that is carried by alternative schools in the city of Bandung. I place great respect and appreciation for every alternative school that has developed a humanized learning approach.

The term alternative education is a generic term for various educational programs carried out in a different way from the traditional way. In general alternative education has in common, namely: the approach is individualized, gives great attention to students, parents / family, and educators and is developed based on interests and experience.

This idea of ​​alternative education stems from Father Mangun's criticisms of the form of education which, from the enactment of the 1974 curriculum, developed until the 1994 curriculum.

Alternative education is not interpreted as a substitute for formal schooling, but rather seeking new dedication materials and methods until the new curriculum. According to Nunuk Murniati, education should be contextual, it must be adapted to the environment. Education for the marginal too. Where the concept of link and macth that was heralded by the New Order government in education only produced capitalist screws that were made only to suit the needs of labor in industrial machinery.

According to Jery Mintz (1994: xi) Alternative education can be categorized in four forms of organization, namely:


  1. Public choice schools;
  2. Public schools / educational institutions for problem students (student at risk);
  3. Private / independent school / educational institution and
  4. Home education (homeschooling).

The oldest alternative form of education managed by the community for the community is pesantren. Estimated to begin in the 15th century, it was first developed by Raden Rahmad alias Sunan Ampel. Then came the pesantren Giri by Sunan Giri, pesantren Demak by Raden Fatah and Pesantren Tuban by Sunan Bonang.

In addition to the pesantren, Taman Siswa was established in 1922. Besides Taman Siswa, Mohammad Syafei opened a school in Kayutaman. School with the motto, "Look for yourself and do it yourself". Students are given the skills to make their own tables and chairs for their learning. But the Netherlands has burned down the school.

Arunika Waldorf School (www.arunikawaldorf.blogspot.com)



Spirit Of The Alternative

Despite the great distance since Taman Siswa and Kayutaman School, alternative schools are increasingly thriving in big cities in Indonesia. The thing that we should be proud of is that the community has many choices for getting better learning opportunities for their children. Well, the spirit of providing a more humane educational approach is what I think. Alternative education can be an interesting part of building Indonesia's human resources in a better future.

Alternative schools are proven to be able to provide another dimension in the world of Indonesian education. Alternative schools dare to come out of the standard of learning that just like that. Passive children and teachers lecture all day long. Although this spirit has also been present in the planning of education in the curriculum, but the reality is far from the fire.

Conventional schools still have difficulty implementing interesting things in conveying their learning. The allocation of training funds has been spent a lot but instead of improving the existing education system it is only a waste of budget. The teacher in the class will again take the safest way, search the internet, copy paste and then spread it in class. Even worse, selling LKS then told the children to do it themselves and the teacher just to rest his legs casually while exhaling the cigarette smoke he was smoking. A bad portrait of education that has been very acute.

While in alternative schools, teachers are struggling to find interesting forms in delivering learning that is interesting and easily understood by children through a variety of varied activities. The teacher processes all materials based on competency standards and core competencies to be delivered to their students.

Now the spirit of creative thinking in alternative education is what I want to share with all. Creative education, fun education, creative education is a spirit that must emerge in every educator himself throughout Indonesia. Hopefully more and more alternative schools will be able to make a positive contribution in building a free, independent, creative and empowered Indonesian human being!
Share:

Selasa, Mei 09, 2017

Pindah Karena Harus Belajar

Pindah Karena Harus Belajar


Pendidikan menjadi salah satu bagian penting dalam hidup ini. Orang dewasa mendidik anak-anak. Orang tua mendidik orang dewasa. Anak-anak mendidik orang tua. Demikian seterusnya sampai lingkaran ini utuh karena semuanya saling mendidik.


Pelajaran utama dari pendidikan ini terjadi karena manusia dilahirkan sebagai mahluk pembelajar. Ia harus belajar sepanjang hayat. Jika ia berhenti belajar, maka ia sedang berusaha menjauhi sisi-sisi kemanusiaannya. Manusia yang berhenti belajar akan digerus jaman. 


Pilihannya adalah belajar dan terus belajar. Nah, sebagai pilihan belajar ini, saya mengambil celah untuk memindahkan diri ke www.iden.web.id sebagai lahan baru untuk menempa diri. 


Tempat baru dan pengalaman baru. Pengalaman ini adalah bentuk pembelajaran baru buat saya sebagai pribadi. 


Belajar dari hal-hal baru yang ditemui dimanapun bersama www.iden.web.id 

Share:

Tempat Berubah Karakter Tidak

Tempat Berubah Karakter Tidak 


Pernah melihat orang yang dikenal terus mengalami banyak dinamika dalam hidupnya tapi kita tetap melihat idealismenya. Pancaran idealisme tetap terjaga sekalipun ia berusaha menyembunyikannya. 


Karakter yang muncul tidak akan pernah bisa luntur oleh waktu dan tempat. Dimanapun keberadaannya, ia selalu menjadi pembeda dengan yang lain. Tak bisa disamakan, tidak akan bisa menjadi patokan menyamaratakan satu individu dengan karakter yang sama.


Pembeda itu juga yang mendasar saya mengalihkan ke www.iden.web.id sekalipun itu terasa sangat sulit karena harus berpisah dari tempat lama yang saya sayangi. Tempat yang membuat saya begitu senang mengeksplorasi sisi-sisi lain dari celah manapun.


Sisi yang bikin greget, kadang senang kadang tidak senang. Sisi yang memberikan semacam 'excitement' karena ada hal baru yang bisa saya dapatkan. Sebuah pengalaman baru yang membuat saya senang mempelajarinya. 


Nah, sekalipun tempat berubah, saya yakinkan karakter tidak akan berubah sebagai saya yang anda kenal sebelumnya. 


Selamat datang perubahan, mari kita sambut dengan kegembiraan dan antusiasme baru di www.iden.web.id


Share:

Selasa, Mei 02, 2017

Hari Pendidikan Dan Semangat Merdeka

Guru merdeka! Dua kata ini menarik perhatian saya pada sebuah pelatihan. Pertanyaan-pertanyaan mendasar kemudian bermunculan dalam kepala ini. 

Apa itu guru merdeka? Kenapa guru merdeka, apakah selama ini guru tidak merdeka? Dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan penting pada konteks guru merdeka ini.

Baiklah, kita coba kesampingkan dulu pertanyaan. Saya ingin melihat sebuah buku menarik tentang menjadi manusia merdeka karya Ki Hadjar Dewantara, bukunya Tan Malaka, lalu tema serupa dari buku-buku Rudolf Steiner, serta buku-buku pendidikan alternatif lainnya seperti Paulo Preire. Buku-buku tersebut fokus utamanya kepada kemerdekaan menjadi manusia. 

Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan, ia tidak lagi dijajah oleh pihak manapun dari luar dirinya. Ia merdeka untuk berkehendak, merdeka untuk berpikir, dan merdeka untuk merasakan apapun. Kemerdekaan ini nyatanya sulit didapatkan. Banyak pihak-pihak yang tidak menghendaki manusia menjadi merdeka karena mereka masih membutuhkan kehadiran manusia tidak merdeka untuk kepentingannya. 


Pendidikan untuk memanusiakan manusia sering kita dengar tetapi tak banyak yang tahu bagaimana implementasi memanusiakan manusia dalam kurikulum pendidikan dan kegiatan sehari-harinya di sekolah. Banyak guru yang terjebak hanya di kuadran 'tahu' saja konsep memanusiakan manusia tersebut. Sisanya, guru-guru yang terus menempa diri, belajar ke sana ke mari, mengkaji berbagai buku tentang pendidikan dari pemikir-pemikir pendidikan di masa lalu. Sebagian kecil ini menjadi guru merdeka yang paham dan mampu mengimplementasikan konsep memanusiakan manusia lewat kegiatan di dalam kelas bersama anak didiknya.

Guru-guru merdeka terkadang menjadi minorias di dalam sebuah komunitas sekolah. Menjadi berbeda dalam mengolah pembelajaran, dan selalu berusaha membuat konkret setiap konsep pembelajaran merdeka lewat praktik-praktik kecil di kelas yang dikelolanya.

Walaupun minoritas, percayalah di luar komunitas yang tidak merdeka, guru merdeka belajar mendapatkan banyak dukungan dari komunitas peduli pendidikan alternatif lainnya. 
Share:

Jumat, April 14, 2017

Begini Keseruan Outbond di Sekolah Alam Bandung

Alex Ahmad (bukan nama sebenarnya) siswa Sekolah Alam Bandung terlihat riang gembira pagi itu. "Saya mau outbond, kak!" Katanya penuh antusiasme. Alex bersama teman-temannya sudah rutin bergiat di alam terbuka sejak kecil. Sekolah Alam Bandung sebagaimana namanya merupakan Sekolah alternatif yang berdiri di tengah rerimbunan, di dekat sawah, dan di samping Taman Hutan Raya Juanda.

Outwarbond atau yang terkenal dengan outbond adalah salah satu media pendidikan yang dikembangkan oleh Sekolah Alam Bandung untuk mendidik para siswanya. Siswa-siswi di Sekolah Alam Bandung bergiliran setiap waktu melakukan kegiatan outbond yang dipandu oleh fasilitator berpengalaman. Tenaga ahli outbond yang sudah lama malang melintang dalam melatih peserta dari berbagai jenjang usia.

Outbond dikatakan oleh gurunya sangat efektif dalam mendidik siswa menjadi terampil, terlatih, dan cekatan. Selain itu juga siswa menjadi lebih kreatif, mandiri, dan mampu bertahan hidup di alam bebas sesuai kadar latihannya. Berjenjang! Tingkat kesulitan yang diatur sedemikian rupa dan mengalir sebagaimana adanya alam ini dilakukan agar anak mendapatkan kesiapan yang bertahap.

Siang itu, setelah berkumpul di lapangan tanah yang sering digunakan berbagai kegiatan, mereka berlatih bersama kelompoknya. Setelah berkumpul mereka berjalan long march ke bukit di daerah Bandung Utara. Udara segar, matahari yang hangat adalah dua nikmat yang mereka dapatkan selain masih banyak lagi yang tidak bisa dituliskan. Inilah keceriaan yang terpancar siang itu di Sekolah Alam Bandung. 


Berkumpul untuk menyatukan visi kegiatan yang dipandu oleh fasilitator kegiatan di alam terbuka


Problem solving bersama teman satu kelompok


Bermain dengan penuh keceriaan bersama teman-teman


Trekking melewati bukit-bukit di Bandung Utara yang masih segar


Long march memasuki daerah-daerah penduduk yang beragam

Alex Ahmad pulang setelah bergiat, mukanya lesu tetapi rona keceriaan masih terpancar dari wajahnya. Yah Alex begitu menikmati kegiatan siang itu. Selepas dijemput iapun tertidur lelap.

(Foto by Nandang Suryana)
Share:

Senin, April 10, 2017

Sisi Lain Tebing 125 Citatah Padalarang Selain Untuk Kegiatan PanjatTebing

Nama Tebing Citatah 125 sudah tidak asing lagi bagi para pegiat alam terbuka dan juga para pecinta alam di Indonesia. Bisa jadi tidak asing juga untuk para pemanjat dunia. Dengan berbagai tingkat kesulitan yang ada di tebing Citatah 125 atau terkenal juga dengan nama Tebing 125 atau gunung Pabeasan, memberikan tantangan yang sangat besar untuk para pemanjat tebing.

Kelompok Pecinta Alam di Bandung sering menggunakan tebing 125 ini untuk latihan. Tebing yang berada di wilayah pengelolaan Kopasus ini bukan sembarang tebing. Tebing khusus yang tidak bisa diakses secara umum tanpa ijin dari Kopasus. Setiap kali mau mengadakan pemanjatan, kita harus mengirim surat perijinan ke PUSDIKPASUS di Batujajar, Bandung Barat. Setelah ijin keluar barulah kita boleh mengakses tebing untuk berlatih bersama.

Sisi Lain Tebing Citatah

Selepas mendapat ijin dari Kopasus, barulah kita bisa meminta ijin kepada komunitas setempat. Namanya Suku Badot. Suku Badot adalah sebuah komunitas yang sering melakukan kampanye peduli lingkungan terutama kawasan karst. Suku Badot sering melakukan kegiatan bersama masyarakat dan pelajar bertajuk ulin bareng sekalian memberikan penyadaran lingkungan. Dengan tanda pagar Save Kawasan Karst, Save Tempat Bermain, mereka menyuarakan kepedulian terhadap lingkungan terutama dari kerakusan manusia dalam menambang kapur, menghancurkan gunung-gunung kapur dan mengotori udara dari pabrik pengolahannya.

Tapi tahukah anda, ada sisi-sisi lain dari tebing ini yang juga menarik untuk dijelajahi. Inilah sisi-sisi lain tebing yang menjulang di kawasan Padalarang, Bandung Barat tersebut:

1. Gua


Terletak di sisi kiri jika kita menghadap tebing. Gua yang terbentuk secara alamiah tersebut sangat cocok untuk kegiatan bersama siswa sekolah baik Sekolah Dasar, Menengah, dan Atas. Kita bisa mengeksplorasi banyak pelajaran di gua tersebut.

2. Saung Belajar


Tepat di area bawah dekat tempat parkir ada sebuah saung yang berisi perpustakaan dan tempat belajar. Di saung ini, anak-anak dari sekitar tempat  belajar bersama-sama. Dengan suara mesin pabrik yang terus menderu, saung ini seolah mengukuhkan peran pendidikan alternatif yang terus bermunculan dengan caranya sendiri.

Nah itulah sisi lain dari tebing 125 yang menarik. Banyak sisi-sisi lainnya yang bisa kita kaji misalnya tentang Suku Badot, serta masyarakat setempat yang ada di sekitar lokasi tebing. Saya masih ingat ketika pertama kali menginjakan kaki di Tebing 125 untuk mengikuti pelatihan Panjat Tebing bersama Skygers, lokasi masih alami. Tidak banyak pepohonan, rumah penduduk, dan pabrik. Kini sudah berganti rupa. Walaupun demikian kepedulian untuk menjaga kawasan karst harus terus dikampanyekan agar kita tidak kehilangan tempat bermain seperti yang sering disampaikan oleh Suku Badot.

[semua foto di sini diambil oleh Iden Wildensyah] 
Share:

Jumat, April 07, 2017

Menjadi Guru Yang Asyik Ala School Of Rock

Ada banyak kisah menjadi guru inspiratif yang bisa diambil dari film-film Holywood. Sebut saja menjadi guru ala Master Shifu, guru kreatif ala Dead Poets Society, dan masih banyak lagi sosok-sosok guru keren yang berjuang untuk anak didiknya dan juga berjuang untuk sekolahnya.

Salah satu guru yang sangat menginspirasi saya adalah Dewey Finn dalam film School Of Rock. Dewey Finn yang diperankan oleh Black Jack adalah seorang gitaris yang menjadi pengangguran setelah dikeluarkan dari group band rock-nya. Karena terdesak akan kebutuhan hidupnya, Dewey akhirnya menerima tawaran menjadi guru SD di sekolah bergengsi Horace Green. Posisi itu ia dapatkan setelah mengaku sebagi Ned Schneebly.

Pada awalnya Dewey merasa bingung, dengan apa yang harus ia ajarkan dan bagaimana cara mengajar di kelas tersebut, dengan tradisi kelas yang sangat formal dan dengan pertanyaan kritis yang lugu dari murid-muridnya, Dewey mencoba untuk mengajar dengan cara yang sesuka hati, dan sesekali bingung dengan para muridnya.

Dewey kemudian mendapat ide untuk membentuk sebuah band rock bersama murid-muridnya. Ia membuat proyek band rock sebagai tugas sekolah untuk mengikuti festival musik rock "battle of the bands". Dewey menjalankan rencana aksinya, dengan mengatur posisi sesuai minat dan bakat anak. Ternyata rencana itu tidak semudah yang ia bayangkan.

Dewey harus merayu para muridnya untuk mengikuti keinginannya tersebut. Dewey juga harus memikirkan beberapa muridnya yang tidak memiliki memiliki bakat musik, supaya dapat tempat di dalam proyek tersebut.

Dewey akhirnya berhasil membentuk kerjasama di antara murid-muridnya, sesuai peran masing-masing. Interaksi berlangsung dalam suasana dinamis dan demokratis. Tidak ada jarak antara murid dan guru. 

Dalam proyek tersebut, Dewey juga memiliki celah masuk untuk mengajarkan sejarah. Ia nengajarkan sejarah musik rock serta tokoh dan group band yang pernah ada seperti Led Zeppelin, Jimmi Hendrix, dan Black Sabath. Proyek ini diberi nama School of Rock dari para muridnya.

Dewey adalah salah satu contoh guru inspiratif yang tidak kehilangan passionnya dalam bermain musik dan menjadikan celah masuk untuk membuat kegiatan bersama anak didiknya di dalam  kelas. Abaikan RPP, evaluasi, dan kegiatan-kegiatan administratif lainnya yang bisa menyibukan guru sampai lupa tugas utamanya sebagai pendidik anak-anak di dalam kelas yang sedang bersama dirinya. Guru harus kreatif, guru harus inspiratif karena guru kreatif dan guru inspiratif akan selalu terkenang sebagai pengalaman belajar yang mengasyikan. 


Share:

Kamis, April 06, 2017

Mengejar Sunset di Santolo, Melihat Sunrise di Sayang Heulang

Ada hal yang sangat menyenangkan ketika kita mampu mengambil pelajaran dari setiap hal yang terjadi. Sebuah pengalaman yang akan terus terkenang sampai kapanpun. Pengalaman yang menjadi bahan cerita turun temurun.

"Dahulu, saya pernah jalan kaki jauh sekali, susur pantai, naik gunung, susur kampung, jelajah kota... Dan sebagainya" adalah pembuka cerita yang sangat menyenangkan. Belum lagi kejadian-kejadian spesial seperti terjebak badai, hujan besar, longsor, dan kejadian-kejadian lainnya di alam terbuka saat melakukan perjalanan jauh.

Keindahan alam juga sering menjadi awal cerita yang menyenangkan. "Wah, matahari terbenam di laut A itu sangat indah sekali. Waktu melihat matahari terbit dari puncak gunung itu, indah banget. Malam hari lihat bulan purnama di gunung atau pantai itu, subhanalloh indahnya!"

Itu hanya pembuka cerita saja tentang pengalaman-pengalaman menarik yang tidak akan bisa terasa jika tidak melihat langsung dan mengalami langsung.

Dalam konteks pendidikan alternatif, membawa anak-anak dalam pengalaman  lansung berinteraksi dengan proses yang ada di alam semesta itu sangat penting. Fasilitator pembelajaran cukup merencanakan kegiatan yang aman bersama anak-anak ke sebuah daerah dengan tujuan yang ditetapkan bersama maka anak akan mendapatkan banyak pelajaran serta pengalaman yang akan berguna kelak dikemudian hari saat anak tidak bersama kita lagi.

Inilah semacam catatan mengalami proses pembelajaran melihat matahari terbenam dan terbit bersama anak-anak di sebuah tempat yang sangat Indah, Indonesia!

Matahari terbit di timur dari pantai Sayang Heulang

Kemudian menikmati indahnya ketenangan pagi hari


Share:

Rabu, April 05, 2017

Makna Kehidupan Dari Buku The Last Lecture

Beberapa buku yang sudah saya baca selalu memberikan kesan yang mendalam. Menyimpan banyak sekali pembelajaran dalam setiap kalimat yang ada dalam tiap paragraf. Salah satu buku Karya Ausberg 49 tahun buku yang berjudul THE LAST LECTURE yang menjadi salah satu buku best-seller di tahun 2007, buat saya sangat banyak memberikan pelajaran tentang kunci membuat hidup lebih baik yang terdiri; Personality, Community, dan Life.

Mari kita bahas satu persatu!
(1) PERSONALITY

1. Jangan membandingkan hidup Anda dengan orang lain karena Anda tidak pernah tahu apa yang telah mereka lalui.

2. Jangan berpikir negatif akan hal-hal yang berada diluar kendali Anda, melainkan salurkan energi Anda menuju kehidupan yang dijalani saat ini, secara positif

3. Jangan bekerja terlalu keras, jangan lewati batasan Anda.

4. Jangan memaksa diri Anda untuk selalu perfect, tidak ada satu orang pun yang sempurna.

5. Jangan membuang waktu Anda yang berharga untuk gosip.

6. Bermimpilah saat anda bangun (bukan saat tertidur).

7. Iri hati membuang-buang waktu, Anda sudah memiliki semua kebutuhan Anda.

8. Lupakan masa lalu. Jangan mengungkit kesalahan pasangan Anda di masa lalu. Hal itu akan merusak kebahagiaan Anda saat ini.

9. Hidup terlalu singkat untuk membenci siapapun itu. Jangan membenci.

10. Berdamailah dengan masa lalu Anda agar hal tersebut tidak mengganggu masa ini.

11. Tidak ada seorang pun yang bertanggung jawab atas kebahagiaan Anda kecuali Anda.
 
12. Sadari bahwa hidup adalah sekolah, dan Anda berada di sini sebagai pelajar. Masalah adalah bagian daripada kurikulum yang datang dan pergi seperti kelas aljabar (matematika) tetapi, pelajaran yang Anda dapat bertahan seumur hidup.
13. Senyumlah dan tertawalah.

14. Anda tidak dapat selalu menang dalam perbedaan pendapat. Belajarlah menerima kekalahan.

(2) COMMUNITY

15. Hubungi keluarga Anda sesering mungkin

16. Setiap hari berikan sesuatu yang baik kepada orang lain.

17. Ampuni setiap orang untuk segala hal

18. Habiskan waktu dengan orang-orang di atas umur 70 dan di bawah 6 tahun.

19. Coba untuk membuat paling sedikit 3 orang tersenyum setiap hari.

20. Apa yang orang lain pikirkan tentang Anda bukanlah urusan Anda.

21. Pekerjaan Anda tidak akan menjaga Anda di saat Anda sakit, tetapi keluarga dan teman Anda. Tetaplah berhubungan baik

(3) LIFE

22. Jadikan Allah sebagai yang pertama dalam setiap pikiran, perkataan, dan perbuatan Anda.

23. Allah menyembuhkan segala sesuatu.

24. Lakukan hal yang benar.

25. Sebaik/ seburuk apapun sebuah situasi, hal tersebut akan berubah.

26. Tidak peduli bagaimana perasaan Anda, bangun, berpakaian, dan keluarlah!.

27. Yang terbaik belumlah tiba.

28. Buang segala sesuatu yang tidak berguna, tidak indah, atau mendukakan.

29. Ketika Anda bangun di pagi hari, berterima kasihlah pada Allah.

30. Jika Anda mengenal Allah, Anda akan selalu bersukacita.

Nah, sangat menarik bukan! Yah, kehidupan kita akan sangat bermakna ketika kita mampu memberikan makna tersebut untuk kehidupan itu sendiri.

Kita hanya setitik kecil di alam semesta!

Share:

Selasa, April 04, 2017

Ketika Aku Melawan Stigma Yang Disematkan Orang Lain Pada Anakku

"Seandainya aku menyerah, mungkin aku gak bisa lihat anakku sekarang kuliah di Perguruan Tinggi" demikian seorang ibu memulai pembicaraan. "Di sini pentingnya kenapa guru gak boleh menjudgement, menghakimi, ataupun memberikan penilaian pada anak didiknya" ibu dari seorang anak sebut saja namanya Merah Delima. Penilaian akan melekat terus dalam diri anak. Jika penilaiannya salah, kasihan anak tersebut. Seolah-olah ia sudah diberi cap seumur hidupnya oleh orang lain.

Merah Delima lahir normal, ia tidak menunjukan gejala apapun sampai usia lima tahun. Menjelang masuk sekolah, ia mulai terlihat berbeda dari anak-anak seusianya. Merah Delima tidak bisa diam. Selalu berlari-lari ke sana ke mari. Gak mau duduk bersama teman-temannya.

Penasaran dengan kondisi anaknya, sang ibu membawa Merah Delima ke psikolog. Hasilnya di luar dugaan. Berdasarkan hasil observasi psikolog, Merah Delima dinyatakan mendapatkan nilai psikotest di atas rata-rata. Ia termasuk anak yang jenius. Ibunya setengah tidak percaya menerima hasil tersebut karena Merah Delima tidak bisa membaca sampai kelas 2 Sekolah Dasar. Penilaian itu dirasa tidak tepat karena Merah Delima seolah berbanding terbalik dengan penilaian orang lain. Baik teman-temannya, gurunya, dan orangtua yang lain. Merah Delima disebut anak bodoh, gak bisa diatur, dan segala stigma negatif yang muncul karena perilaku masa kecilnya 'berbeda' dari anak-anak seusianya. 

Jangan tanya jika menerima nilai raport kelasnya, Merah Delima selalu menjadi anak dengan urutan nilai paling akhir, pertama dari urutan terakhir. Nilai-nilai pelajarannya banyak yang 'merah'. Kalau istilah sekarang jauh dari KKM. Beruntung dia bukan sekolah di SD Konvensional yang nilai raport menentukan kenaikan kelas. Merah Delima terus naik bersama teman-temannya. 

Mendapatkan penilaian buruk dari orang lain tak lantas membuat ibunya patah semangat, sang ibu tetap yakin jika anaknya bisa tumbuh dan berkembang dengan baik. Ia percaya dengan dorongan positif dan kasih sayang yang terus diberikannya. Setiap malam ia doakan Merah Delima. Membawa harapan dan membisikan kata-kata positif seperti, "ibu yakin kamu bisa belajar dengan baik" "Merah Delima anak yang kreatif" "Merah Delima mampu menjadi anak baik yang selalu ceria dan menyenangkan bersama teman-teman" serta semua dorongan dan doa positif darinya yang selalu disampaikan kepada Merah Delima.

Sang ibu mengenang, kegiatannya di Sekolah Dasar yang tidak bisa bergerak lama kelamaan membentuk pola. Merah Delima ternyata menari! Ia mengikuti irama alam semesta. Bersyukur, Sekolah alternatif tempat Merah Delima bertemu teman-temannya termasuk sekolah yang tidak melakukan penilaian kepada anak didiknya terutama nilai angka-angka seperti pada umumnya sekolah.

Kesenangan menari tersebut ternyata mampu diakomodir oleh sang ibu. Merah Delima masuk kelas balet. Ia belajar balet dengan cepat dibandingkan anak-anak lainnya. Keseimbangan motorik kasarnya terbukti menjadi penguat untuk dirinya melakukan gerakan-gerakan balet. 

Kegiatan lainnya seiring waktu bisa diikuti dengan baik oleh Merah Delima. Nilai pelajaran umum yang awalnya ditakuti oleh orangtuanya secara perlahan mampu ia lewati dengan hasil yang sangat memuaskan. 

Kini, Merah Delima sedang meraih cita-citanya kuliah di sebuah perguruan tinggi sesuai dengan minat dan cita-cita. "Ah, jika saja saya terjebak stigma dan penilaian orang lain pada anakku, mungkin aku gak bisa melihat anakku kuliah dengan kemandirian yang besar" katanya menutup pembicaraan dengan setitik air turun dari sudut matanya mengenang kisah perlawanannya pada penilaian orang lain.

Hilangkan segala penghakiman pada anak dan biarkan dia belajar dengan nyaman sesuai cara terbaiknya.



Share:

Jumat, Maret 24, 2017

Ini Alasan Kenapa Jalan-Jalan Itu Baik

Jika perkembangan profesi sekarang semakin pesat dan banyak yang tidak terduga sebelumnya, maka traveler menjadi salah satu profesi yang bisa masuk dalam kategori tersebut.
Tidak sedikit yang bangga untuk menuliskan profesinya sebagai traveler. Aktor Nicholas Saputra misalnya, ia dengan bangga menyebut dirinya sebagai fulltime traveler. Lalu Trinity Traveler yang sudah menempelkan traveler dalam namanya. 
Dalam jajaran blogger, travel blogger semakin banyak. Blogger yang mengkhususkan diri pada kegiatan traveling, penjelajahan, dan jalan-jalan lainnya. Kekhususan dalam tema tulisan yang diangkat dalam blognya seringkali menjadi referensi para traveler lainnya sebelum berangkat menuju tempat tujuan baik di dalam negeri atau di luar negeri.
Pendidikan! Ah iya, tidak sedikit juga para traveler yang menjadikan pendidikan sebagai pokok utama perjalanannya. Bukan sekadar jalan-jalan saja tetapi juga membawa misi pendidikan. Sebut saja sebuah akun @1000_guru yang tagline-nya traveling and teaching. Pegiat komunitasnya sudah tersebar banyak di berbagai kota di Indonesia. Ini bentuk alternatif baru membangun kepedulian pendidikan kepada anak muda lewat cara-cara yang fun, menarik, medsos center. Belum ada ukuran berhasil atau tidak tapi untuk sebuah semangat layak untuk diapresiasi.

Jalan-Jalan Untuk Guru
Sebenarnya kalau disebut mendobrak sistem, enggak juga. Jalan-jalan adalah sesuatu yang biasa saja. Sudah dilakukan sejak lama oleh para pegiat pendidikan di jaman dahulu kala. Mereka bepergian ke sebuah daerah untuk mencari ilmu, mendapatkan pengalaman langsung dari guru di daerah yang dimaksud. Misalnya ketika mereka ingin belajar tentang pertanian, langsung menuju tempat pertanian dan belajar langsung selama sekian waktu. Menyelami proses belajar bertani dengan terjun langsung di lapangan. Merasakan keseharian petani kemudian setelah pengalamannya memadai ia akan pulang lalu mengaplikasikan pengalaman belajarnya.
Banyak pengalaman yang menarik selama proses jalan-jalan berlangsung. Proses mengenal diri sendiri, lingkungan baru, dan hal-hal yang bisa membukakan wacana sebelumnya. Terutama jika sudah terkukung oleh paradigma sendiri, jalan-jalan menjadi celah masuk untuk melihat ada yang lain di luar sana. Misalnya metode pendekatan belajar yang baru, ilmu-ilmu baru, dan hal-hal lain yang bisa diaplikasikan di dalam kelasnya. 
Khusus untuk kegiatan bertajuk fieldtrip, outing, study ekskursi, karya wisata, wisata edukasi, dan nama-nama lainnya menjadi sangat positif jika mampu diarahkan dengan baik tidak sekadar kegiatan rutin tahunan menghabiskan anggaran atau lebih parah lagi dijadikan ajang bisnis oleh sekolah untuk menarik uang dari orangtua siswa.
Semangat jalan-jalan guru akan menjadi inspirasi buat anak didiknya ketika ia mampu mengemas kegiatan tersebut sebagai pembelajaran. Siswa menyerap proses yang berlangsung dalam diri gurunya lewat cerita perjalanan yang disampaikan pada waktu-waktu tertentu. 
Selain semangat yang bisa mengalir kepada anak didiknya, jalan-jalan juga membuat semangat bekerja semakin baik. Guru akan terlepas dari rasa bosan, penat, dan stress karena tekanan mengajar dan rutinitas sehari-hari. 
Cerita perjalanan saya ada juga di https://steller.co/idenide

Jalan Jalan Untuk Siswa
Mari kita bedah dari sisi siswa yang turut serta dalam kegiatan yang dirancang oleh gurunya atau secara mandiri atau bersama-sama antara guru dan siswa. 
Dalam sisi pembelajaran, semua kegiatan ke luar ruangan selalu banyak sisi yang menarik untuk dikaji. Terutama mengaitkan teori dan praktik. Yang paling menarik misalnya sains, ilmu kebumian, dan ilmu sosial. 
Ilmu yang berhubungan bumi tentu sangat menarik jika siswa langsung melihat dan merasakan bentuk konkrit teori dalam buku. Misalnya melihat jenis-jenis batuan, fenomena alam, kenampakan alam, dan lain-lain. Antusiasme mereka berbeda ketika mendengarkan teori di dalam kelas dengan melihat langsung. Guru bahkan tidak harus memberikan banyak ceramah, cukup memberikan stimulan sebelumnya kemudian biarkan siswa yang menyerap proses pengalaman tersebut di lapangan. 
Jalan-jalan buat siswa juga menjadi media untuk belajar mengambil jeda dari rutinitas keseharian. Memberikan pengalaman untuk membuat mereka tetap bersemangat menjalani rutinitas. Siswa yang sehari-hari bergiat dengan teks-teks buku pelajaran butuh ruang baru untuk melihat dan merasakan suasana baru yang berbeda dari keseharian yang mereka lalui.
Inspirasi jalan-jalan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi akan menjadi pembelajaran seumur hidup buat mereka terutama ketika mereka harus beradaptasi dengan lingkungan baru, suasana baru, kegiatan baru, dan hal-hal baru lainnya yang kelak akan mereka temukan dalam kehidupan yang akan datang. 
Cerita perjalanan mereka bisa menjadi sebuah hal yang menarik dan menginspirasi jika guru mampu mengemas sebuah perjalanan sebagai pendekatan baru dalam mendidik. Tidak usah jauh dari lingkungan sekolah, di lingkungan terdekatpun, sebagai guru kita bisa mengajak mereka untuk jalan-jalan mengenal lingkungan terdekatnya. Jalan-jalan untuk mengkaji, menganalisis, dan membuat solusi atas masalah yang ditemukan selama jalan-jalan. Dalam proses ini, kita sudah mendekatkan proses pembelajaran dari realitas sosial terdekat dengan anak. 

Temui juga cerita lainnya di https://steller.co/idenide



Share:

Jumat, Februari 10, 2017

Kisah Raja Awan dan Ratu Angin Yang Baik Hati

Suatu hari Raja Awan bersedih. Sudah lama ia tidak melihat keceriaan petani yang mengolah tanah. Raja Awan memanggil Ratu Angin. Mereka berbicara tentang petani yang kesulitan air.

Nun jauh di negeri seberang, ada pengganggu yang bernama Raja Awan Hitam. Dia gak suka melihat petani bersuka cita. 

Untungnya, Raja Awan dan Ratu Angin punya pengawal sejati yang bisa menghilangkan Raja Awan Hitam. Mereka adalah Ksatria Petir dan Pangeran Gemuruh.

Kalau ksatria petir dan pangeran gemuruh sudah datang, raja awan hitam hilang lalu turun hujan. 

Raja Matahari kemudian muncul dari balik awan. Titik-titik air hujan kemudian mewujud pelangi yang indah. 

Hujan turun dan petanipun riang gembira. Bersenang hati karena tanamannya kini tumbuh dengan baik.
Raja Awan dan Ratu Angin pun tersenyum senang hatinya.


Kisah Raja Awan dan Ratu Angin Yang Baik Hati (Iden Wildensyah)


Share:

Selasa, Februari 07, 2017

Spiritualisme Itu Penting Pertamakali Diajarkan Di Sekolah

"One's everyday life is never capable of being separated from his spiritual being" (Mahatma Gandhi)

Saya memilih konsep ketuhanan dari sekian banyak pilihan workshop yang bisa saya ikuti dalam Temu Pendidik Nusantara. Saya tahu konsep ketuhanan itu nyata tetapi bagaimana dari persfektif orang lain yang juga sudah lama berkecimpung dalam bidang keagamaan ini. Hasilnya! Sungguh luar biasa. Banyak sekali jawaban-jawaban yang saya dapatkan dari Pak Ustadz, saya panggil pak Ustadz sebagai bentuk penghargaan dan penghormataan saya pada keilmuan yang sudah dimiliki pemateri saat itu.

Ustadz menyampaikan dengan cara yang elegan bahwa untuk mengenal konsep ketuhanan ini hal yang utama dan mendasar perlu ditanamkan dalam diri anak adalah konsep spiritualisme. Spiritualisme ini sangat penting agar kelak anak tidak memahami agama sebagai aksiomatik. Agama bukan sekadar dogmatik saja tetapi agama adalah sebuah kebutuhan hidup yang memancarkan kebaikan untuk umatnya.

Spiritualisme Itu Penting Pertamakali Diajarkan Di Sekolah (Iden Wildensyah)
Hal ini menampik kenyataan banyaknya orang yang beragama tetapi masih dipermukaan saja, isinya sangat jauh berbeda. Bungkus yang berbeda dengan isi, padahal seharusnya bungkus menggambarkan isi dari dalam. Nah, konsep ketuhanan yang didasari oleh spiritualisme ini seiring degan kajian-kajian di Studi Group yang saya ikuti saat membahas pemikiran Rudolf Steiner atau yang menginisiasi Sekolah Waldorf, bahwa mengajarkan agama itu lewat spiritualisme bukan lewat dogma-dogma yang sekarang bertebaran di sekolah-sekolah.

Menginternalisasi nilai-nilai agama dalam diri pendidik adalah hal utama sebelum mengajarkan agama yang baik pada anak didik di sekolah atau di rumah. Internalisasi ini menjadi sangat penting karena nilai inilah yang akan memancarkan kebaikan untuk anak-anak kemudian diserapnya menjadi sebuah kebaikan yang universal.

Tentang hal ini saya mengingat sebuah tulisan dari Emha Ainun Najib berikut ini:
Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama.

Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.

Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat, baca al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama. Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.

Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh'afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.

Spiritualisme dalam Kebersihan Pangkal Kesehatan

Di sesi selanjutanya saya bernyanyi bersama-sama. Tidak bertolak belakang, keduanya memiliki nilai spiritualisme yang menarik satu sama lain. Dalam sesi workshop kedua itu saya bertemu dengan para pegiat pendidikan alternatif yang sudah lama melakukan kegiatan peduli musik anak seperti Karina dan Ribut Cahyono. Sungguh sebuah pengalaman yang sangat menyenangkan saat bersama-sama mengkaji kedalaman sebuah arti musik untuk anak-anak. Terlebih dari musik bukan sekadar lagu yang akan dinyanyikan dan harus dihapal tetapi lebih dari itu, musik akan menumbuhkan sense yang berguna untuk anak-anak.

Bernyanyi selanjutnya adalah kebersihan pangkal kesehatan! Jauh dari pembahasan awal di tulisan saya tetapi lagu sederhana yang dinyanyikan untuk anak-anak biasanya memiliki nilai yang luar biasa besar. Less is more, semakin sedikit semakin besar makna yang didapatkan oleh anak. Daripada banyak-banyak instrumen, melodi, dan lirik yang aduhai banyak, cukup sedikit tapi akan memberikan banyak makna untuk anak-anak.

Lalu, apa spiritualisme dalam sebuah kalimat ‘kebersihan pangkal kesehatan?’ Kalau di sekolah-sekolah sering terlihat banyak sekali slogan-slogan yang dipampang di pintu atau di dalam kelas. Misalnya berlomba-lomba dalam kebajikan, jangan menunda pekerjaan, jagalah kebersihan, dan kebersihan sebagian dari iman. Akan tetapi kenyataan masih kotor di beberapa tempat, kamar mandi atau wc siswa di beberapa sekolah penuh dengan coretan-coretan, berbau tak sedap, bahkan tak jarang kotornya sangat keterlaluan. Pertanyaannya apakah siswa atau guru tidak bisa membaca makna dari kebersihan sebagian dari iman? Mereka bisa membaca, tahu tapi hanya sekadar tahu tidak mempraktikannya dalam keseharian. Persis seperti beragama, banyak yang tahu ayat-ayat tetapi pada praktiknya masih jauh dari nilai-nilai yang terkandung dalam ayat tersebut.

Sangat komplek dan begitu mendalam bahasan ini buat saya. Inilah kenapa saya katakan bukan sekadar pertemuan, ini adalah tentang berbagi inspirasi, berbagi semangat, dan berkolaborasi. Kolaborasi dalam sebuah nyanyian terasa merdu saat semua orang diberi kesempatan yang sama dengan apresiasi yang sama pula dari semuanya. Tak bisa berdiri sendiri, iyah! Nyanyian terasa merdu saat dinyanyikan dengan penghayatan yang dalam. Jadi, Mas Ibut ayo ambil gitarnya mari bernyanyi! “Kebersihan pangkal kesehatan!”

Share:

Senin, Februari 06, 2017

Bukan Sekadar Pertemuan Tapi Berbagi Inspirasi Mendidik

Live as if you were to die tomorrow. Learn as if you were to live forever” (Mahatma Gandhi)

Bulan November 2016 hujan sedang mengguyur sebagian besar Indonesia tak terkecuali Kota Jakarta. Hujan tak menyurutkan semangat para pendidik dari berbagai wilayah di Indonesia untuk bersama-sama berbagi cerita dalam sebuah acara yang inspiratif, Temu Pendidik Nusantara. Dari Bandung saya bergegas berangkat pada hari H, beberapa pendidik sudah hadir di Jakarta sehari sebelumnya terutama yang berasal dari luar pulau Jawa. Mereka bersemangat untuk menghadiri dengan aktif pertemuan dan workshop yang sudah jauh-jauh hari disampaikan dalam media publikasi yang disebarkan oleh panitia pelaksana.

Bukan Sekadar Pertemuan Tapi Berbagi Inspirasi Mendidik (Iden Wildensyah)

Pertemuan para penggerak guru belajar dilaksanakan di Gelanggang Remaja Jalan Ragunan no 1 Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Najeela Shihab, seorang pendiri sekolah Cikal dan Bukik sudah memandu acara sejak pagi, saya datang di tengah-tengah acara berlangsung. Walaupun datang di tengah-tengah, saya sudah menangkap beberapa inti dari pertemuan sebelumnya. Diskusi interaktif tersebut begitu memukau karena menghadirkan guru-guru inspiratif yang memberikan warna-warna baru buat pendidikan di Indonesia.

Kalau cuma sekadar mengikuti acara duduk manis kemudian pulang itu sudah mainstream dilakukan pendidik di Indonesia. Memberikan dimensi yang berbeda pada setiap pertemuan itu baru antimainstream. Bertemu tokoh-tokoh yang menginspirasi dari berbagai pelosok negeri ini adalah hal termewah yang saya syukuri saat itu. Mereka adalah guru saya, mereka adalah inspirator saya dalam bergiat. Sebut saja ada Lany Rh, Rizqy Rahmat Hani, Imanuel Lawalata, mereka memberikan dimensi yang menarik selama pertemuan. Bersama mereka saling menguatkan semangat, berbagi ide, berbagi keceriaan, dan tidak lupa bagi-bagi nomor telepon satu sama lain.

Berbagi Inspirasi Lewat Diskusi Interaktif

Kegiatan yang dilakukan para pendidik di Indonesia biasanya monoton, ada pemateri kemudian sisanya duduk manis. Dalam beberapa kesempatan saya selalu tak bisa tahan dalam kondisi seperti itu. Saya memilih keluar ruangan kemudian mencari ide segar di luar seminar atau workshop jika kondisi terjadi satu arah.

Berbeda dengan seminar para pendidik umumnya, diskusi pagi itu adalah diskusi interaktif yang sangat saya sukai. Saya suka bukan hanya pengemasanya tetapi juga konten dan konteksnya. Sebut saja salah satu pemicu diskusi kelompok yang saya ikuti yaitu tentang bagaimana meningkatkan kreativitas dengan mendobrak senioritas yang muncul dalam lembaga pendidikan. Senioritas perlu dilawan dengan kreativitas dengan tetap memunculkan rasa hormat untuk mereka yang sudah duluan terjun dalam mendidik anak-anak. Yah, saya paling suka melawan jika muncul senioritas. Senioritas hanya melahirkan sikap arogan yang tidak membangun. Sikap ini bisa menghilangkan kreativitas dalam mendidik yang hadir dari para anak muda yang mau menjadi pendidik.

Diskusi lainnya tak kalah menarik terutama misalnya saat mendengarkan cerita Bupati Bojonegoro yang dipandu oleh Najwa Shihab. Dengan gaya yang interaktif, Najwa mampu membawa peserta merasa terlibat dalam setiap diskusinya. Nah, di saat itu ada satu pertanyaan yang bisa juga menjadi satu pernyataan untuk Bupati Bojonegoro dalam persfektif saya yaitu sikapnya terhadap pendidikan alternatif. Baiklah, saya tuliskan saja di sini. Saya ingin tahu bagaimana pengelolaan sekolah-sekolah alternatif di Bojonegoro dalam mempertahankan keunikannya. Apakah dengan tetap mengikuti standarisasi yang diberikan oleh pemerintah atau berani untuk tetap bertahan sekalipun kemudian seolah terlepas dari akreditasi, misalnya! Nah hal ini ingin saya sampaikan mengingat salah satu tantangan sekolah alternatif adalah hantu standarisasi dari pemerintah.

Share:

Senin, Januari 09, 2017

Ludwig Wittgenstein, Pengaruh Russel, Dan Guru Sekolah Dasar

Dari sekian banyak filsuf yang beredar, Ludwig Wittgenstein saya pilih karena memberikan hal yang sangat menarik sebagai guru. Tentu saja di samping cerita-cerita lainnya yang ia bawa sebagai manusia biasa yang lahir ke dunia ini. Ludwig Wittgenstein berlatar belakang yang jauh dari dunia filsafat adalah seorang mahasiswa Teknik Mesin di Universitas Manchester saat pertama kali berkenalan dengan filsafat. Ia terkejut dengan sebuah pertanyaan, “Apa angka itu?”

Pertanyaan itu yang ternyata jauh lebih menarik dibandingkan materi perkuliahan yang ia dapatkan di bidang teknik mesin. Ia menyadari bahwa pertanyaan itu sangat sulit untuk dijawab.

Ludwig Wittgenstein Bersama Siswa Sekolah Dasar (sumber: theparisreview)

Bertrand Russel
Dari sebuah pertanyaan itu kemudian ia pergi ke Cambrigde untuk menemui Bertrand Russel seorang ahli matematika yang terkenal pada masa itu. Alih-alih memberikan jawaban, Russel malah menyuruh Wittgenstein pergi dan menulis tentang pertanyaan itu. Ketika ia kembali dengan esainya beberapa bulan kemudian, Russel sangat terkesan dengan esainya dan memintanya menjadi seorang filsuf.

Wittgenstein yang awalnya dari bidang teknik mesin di Universitas Manchester kemudian pergi meninggalkan bidang tersebut dan ia pindah ke Cambridge untuk belajar di bawah bimbingan Russel.
Secara tidak langsung, Russel sangat memengaruhi Wittgenstein dan dia menjadi sangat serius menekuni berbagai masalah dan isu filsafat bahasa yang sedang dikembangkan oleh Frege dan Russel. Aliran ini berusaha keras mencari jawaban dari pertanyaan yang dalam dan sangat membingungkan, yaitu “Apa yang membuat bahasa menjadi bermakna?” Para filsuf bahasa biasanya menghabiskan banyak waktu memikirkan mengapa, misalnya kata “ayam” dan “kentang goreng” memiliki arti seperti yang dimaksudkan.

Wittgenstein muda mengembangkan filsafatnya tentang bagaimana kata-kata memperoleh artinya. Menurutnya, bahasa manusia menjadi berarti karena mewakili kenyataan seperti gambar. Sebuah kalimat (para filsuf lebih suka menyebutnya proposisi) punya makna bila kalimat tersebut menggambarkan suatu hubungan yang mungkin. Teori ini kadang disebut teori arti gambar. Dari sini, Wittgenstein memublikasikannya dalam buku Tractatus Logico-philosophicus yang terbit pada tahun 1921.

Buku Tractatus Logico-philosophicus memiliki cerita yang menarik juga. Buku tersebut ditulis dalam parit perlindungan saat Perang Dunia I berkecamuk. Ketika itu, ia menjadi sukarelawan dalam tentara Austria. Menurut catatan, buku ini adalah salah satu buku yang paling sulit dimengerti dalam sejarah filsafat. Kejadian ini mengingat saya pada sosok Tan Malaka yang menyusun buku Madilog dalam berbagai kondisi kritis yang dialami oleh penulisnya. Dalam pengejaran polisi, atau dalam kondisi yang sangat sulit dibayangkan untuk keadaan sekarang.

Menjadi Guru Sekolah Dasar

Salah satu fase perjalanan yang menarik dari filsuf ini adalah guru. Wittgenstein adalah seorang guru sekolah dasar. Setelah menyelesaikan bukunya dan yakin telah menyelesaikan semua masalah filsafat, ia mulai bekerja sebagai guru di sekolah dasar di Austria. Namun jangan dibayangkan ia menjadi guru kreatif, menyenangkan, dan mengasyikan. Kenyataannya semua tidak selancar yang dibayangkannya. Para orangtua murid mengeluh bahwa anak-anak mereka sering diperlakukan kasar oleh Wittgenstein. Mereka bahkan menuntut Wittgenstein dengan tuduhan telah berbuat keji. Wittgenstein akhirnya berhenti mengajar dan kembali ke Cambridge.

Pertanyaan kenapa ia menjadi guru yang kejam buat saya sangat menarik. Kenapa ia berlaku keji saat menjadi pengajar di sekolah dasar tersebut? Saya menganggap ekspektasi dia terhadap anak didiknya terlalu tinggi sementara kenyataan tidak sesuai ekspektasi. Terutama dia yang sangat fokus pada konsep-konsep dasar yang berawal dari bahasa kemudian mentok ketika berhadapan dengan anak-anak atau bisa jadi banyak sekali pertanyaan anak-anak yang mendasar yang ia tidak bisa jawab sebagaimana adanya anak-anak.

Menjadi guru di sekolah dasar bukanlah pekerjaan yang mudah. Banyak sekali hal yang harus dipersiapkan terutama hal-hal yang sifatnya filosofis, psikologis, dan persiapan mental lainnya . Ada kesadaran anak yang belum bisa dijangkau oleh orang dewasa yang membuat mereka terkadang sulit untuk dimengerti dalam wacana orang dewasa. Di sinilah saya menaruh respect kepada guru-guru senior di jenjang pendidikan anak yang sudah lama berkecimpung dengan dunia anak dan tetap bisa objektif dalam membangun pembelajaran menarik dan menyenangkan untuk anak-anak. Saya kira, Wittgenstein tidak sampai pada kesadaran pendidikan anak seperti itu.



Share:

Postingan Populer